Ini Meriam Pengusir Kuntilanak
Gelondongan kayu mabang yang dibentuk silinder berongga nampak berjejer rapi dalam kelompoknya masing-masing, biasanya lima buah, di tepian Sungai Kapuas yang membelah Kota Pontianak.
Sudah sepekan sebelum Lebaran tiba, kayu besar silinder yang dibentuk sebagai meriam karbit itu sudah bertengger dan sekali-kali dinyalakan di malam hari.
"Ini namanya permainan meriam karbit. Ini sudah menjadi tradisi dan dimainkan masyarakat tepian Sungai Kapuas setiap tahunnya," kata seorang kerabat Kesultanan Pontianak, Syarif Usmulyani menjelaskan.
Setiap malam hari sebelum dan sesudah Lebaran dengan puncaknya malam Lebaran, suara dentuman satu meriam dengan meriam lainnya akan memecahkan angkasa Kota Khatulistiwa itu.
Tak kurang dari 40 kelompok warga yang bermain meriam karbit ini, menurut data yang ada di Dinas Pariwisata Kota Pontianak.
Setiap kelompok itu jumlah anggotanya bervariasi dari 15 hingga 30 orang yang mewakili "gang "atau RT atau gabungan beberapa" gang " atau RT di kampung tepian Kapuas.
Setiap kelompok biasanya memiliki lima meriam, namun ada beberapa yang memiliki sampai belasan meriam. Kebanyakan lokasi meriam ditempatkan di tepian Sungai Kapuas di sekitar Jembatan Kapuas dengan kedudukan yang saling berhadapan, namun terbatasi bentang sungai yang lebarnya sekitar 600 meter itu.
"Mereka berjejer di masing-masing tepi sungai yang berhadapan, seakan siap-siap berperang," kata Usmulyani. Dentuman yang bersahut-sahutan itu mengundang daya tarik masyarakat Kota Pontianak, bahkan wisatawan dari luar Kalbar menontonnya.
Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius tiga hingga lima kilometer.
Napak Tilas
Menurut penuturan Usmulyani, permainan meriam karbit terkait dengan awal berdirinya Kota Pontianak. Berawal dari perjalanan Syarif Abdurrahman menyusuri Sungai Kapuas untuk menemukan areal yang bisa didiami, konon rombongan itu mendapat gangguan.
"Konon, selama delapan hari menebang pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para kuntilanak. Boleh jadi kata "kuntilanak" ini bertransformasi menjadi Pontianak," tuturnya.
Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian rohnya bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga. Disarankan oleh tetua Melayu, agar warga memelihara kuku panjang dan tajam, sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.
"Tapi Sultan Syarif Abdurrahman, memilih cara lain. Dia menembakkan meriam ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya," cerita Usmulyani.
Dari kejadian mengusir gangguan itu di zaman kesultanan akhirnya meriam karbit menjadi sering digunakan, namun beralih fungsi sebagai penanda saat berbuka puasa di bulan Ramadhan.
Meriam dibunyikan saat memasuki azan magrib yang tujuannya untuk memberitahukan masyarakat Pontianak bahwa waktu maghrib tiba.
"Maklum saja, pada saat itu masjid-masjid belum memiliki alat pengeras suara seperti saat ini. Selain itu, populasi penduduk yang jarang dan terpisah-pisah jelas menyulitkan mendengar suara azan," beber kerabat Keraton Kadriah yang juga tokoh Melayu itu.
Namun kondisi saat ini adalah tradisi meriam karbit dimainkan mulai jelang Lebaran dengan puncaknya malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.
Bagi Kota Pontianak kini, menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Pontianak Utin Khadijah, tradisi ini mengangkat nama daerah, karena ini merupakan tradisi khas satu-satunya yang ada di Tanah Air.
"Permainan rakyat meriam karbit ini jelas memiliki nilai pesona budaya yang menarik. Tidak hanya masyarakat Pontianak, namun dari luar kota pun berdatangan menyaksikan," kata Utin.
Bahkan, di tahun 2007, meriam karbit kota Pontianak telah memecah rekor Museum Rekor Indonesia dan berulang kembali di tahun 2009.
Untuk mengembangkan kebudayaan ini, Utin berkomitmen akan terus melestarikannya, salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan menggelar Festival meriam karbit setiap tahun.
Setiap kelompok biasanya memiliki lima meriam, namun ada beberapa yang memiliki sampai belasan meriam. Kebanyakan lokasi meriam ditempatkan di tepian Sungai Kapuas di sekitar Jembatan Kapuas dengan kedudukan yang saling berhadapan, namun terbatasi bentang sungai yang lebarnya sekitar 600 meter itu.
"Mereka berjejer di masing-masing tepi sungai yang berhadapan, seakan siap-siap berperang," kata Usmulyani. Dentuman yang bersahut-sahutan itu mengundang daya tarik masyarakat Kota Pontianak, bahkan wisatawan dari luar Kalbar menontonnya.
Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius tiga hingga lima kilometer.
Napak Tilas
Menurut penuturan Usmulyani, permainan meriam karbit terkait dengan awal berdirinya Kota Pontianak. Berawal dari perjalanan Syarif Abdurrahman menyusuri Sungai Kapuas untuk menemukan areal yang bisa didiami, konon rombongan itu mendapat gangguan.
"Konon, selama delapan hari menebang pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para ’kuntilanak’. Boleh jadi kata "kuntilanak" ini bertransformasi menjadi Pontianak," tuturnya.
Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian rohnya bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga. Disarankan oleh tetua Melayu, agar warga memelihara kuku panjang dan tajam, sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.
"Tapi Sultan Syarif Abdurrahman, memilih cara lain. Dia menembakkan meriam ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya," cerita Usmulyani.
Dari kejadian mengusir gangguan itu di zaman kesultanan akhirnya meriam karbit menjadi sering digunakan, namun beralih fungsi sebagai penanda saat berbuka puasa di bulan Ramadhan.
Meriam dibunyikan saat memasuki azan magrib yang tujuannya untuk memberitahukan masyarakat Pontianak bahwa waktu maghrib tiba.
"Maklum saja, pada saat itu masjid-masjid belum memiliki alat pengeras suara seperti saat ini. Selain itu, populasi penduduk yang jarang dan terpisah-pisah jelas menyulitkan mendengar suara azan," beber kerabat Keraton Kadriah yang juga tokoh Melayu itu.
Namun kondisi saat ini adalah tradisi meriam karbit dimainkan mulai jelang Lebaran dengan puncaknya malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.
Bagi Kota Pontianak kini, menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Pontianak Utin Khadijah, tradisi ini mengangkat nama daerah, karena ini merupakan tradisi khas satu-satunya yang ada di Tanah Air.
"Permainan rakyat meriam karbit ini jelas memiliki nilai pesona budaya yang menarik. Tidak hanya masyarakat Pontianak, namun dari luar kota pun berdatangan menyaksikan," kata Utin.
Bahkan, di tahun 2007, meriam karbit kota Pontianak telah memecah rekor Museum Rekor Indonesia dan berulang kembali di tahun 2009.
Untuk mengembangkan kebudayaan ini, Utin berkomitmen akan terus melestarikannya, salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan menggelar Festival meriam karbit setiap tahun.