11:08 PM

Kisah Bayi Perokok dan Penantian PP Tembakau

rokokVIVAnews - Aktivis anak Seto Mulyadi, sempat kewalahan menanggapi keprihatinan dunia internasional terhadap Ardi Rizal, bocah 2 tahun asal Musi Banyuasin Sumatera Selatan yang kecanduan rokok.

Di ajang World Summit on Media for Children and Youth yang digelar di Karlstad, Swedia, Juni lalu, pria yang lebih akrab dipanggil Kak Seto itu, kerap ditanyai para peserta negara lain tentang kondisi terakhir Ardi. Bagi mereka, bayi 2 tahun yang melahap 40 bungkus rokok per hari, adalah sesuatu hal yang sangat memprihatinkan.

Sebisa mungkin Kak Seto memberi pengertian bahwa Indonesia sangat serius untuk menangani kasus Ardi. Belakangan orang tua Ardi juga merelakan anaknya untuk direhabilitasi di kediaman Kak Seto di Jakarta.

Ternyata keseriusan Kak Seto terbukti. Setelah sekitar sebulan Ardi digembleng, awal September ini Ardi dinyatakan sembuh. "Ardi kini sama sekali sudah tak membutuhkan rokok," kata Kak Seto kepada VIVAnews, 3 September 2010.

Menurut Kak Seto, Ardi adalah anak yang cerdas dan bisa diberikan pengertian. "Ardi bahkan sudah bisa menyarankan orang lain untuk tidak merokok," kata Kak Seto menjelaskan.

Dengan menggunakan metode social learning, Kak Seto berhasil mengalihkan keinginan Ardi untuk menghisap rokok dengan berbagai aktivitas permainan. Mulai dari bermain ayunan, perosotan, berlari, menggambar, dan berbagai kegiatan yang mengasyikkan dengan anak-anak lain seusia Ardi.

Menurut Kak Seto, ternyata permasalahan utama yang menyebabkan Ardi mengalami kecanduan rokok adalah lingkungan dan kekosongan aktivitas.

Oleh karenanya, Kak Seto merekomendasikan agar sepulangnya Ardi ke rumah, ia dikondisikan untuk tetap berada di lingkungan bebas asap rokok dan ia dimasukkan ke dalam kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

***

Selesai masalah Ardi bukan berarti selesai semua masalah. Menurut Komisi Perlindungan Anak, rata-rata prevalensi perokok pemula di Indonesia yang semula berada di usia 19 tahun, kini menjadi 7 tahun.

Bahkan Indonesia juga punya banyak perokok balita selain Ardi. Di Sukabumi ada Galih Ramadhan yang sudah merokok sejak 2,5 tahun. Di Malang ada Sandi, bocah lima tahun yang bahkan tak hanya merokok, melainkan kerap juga menenggak minuman keras.

Tentu, masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak tersorot oleh media massa. Setidaknya 31 persen anak Indonesia, telah merokok sebelum menginjak usia 10 tahun (usia kelas 3 SD). Mereka pun tak seberuntung Ardi, yang mendapat penanganan langsung dari Kak Seto.

President Campaign for Tobacco-Free Kids, Matthew Myers menyalahkan hal ini kepada pemerintah Indonesia. "Pemerintah Indonesia benar-benar gagal dalam mengedukasi masyarakatnya," kata Myers, dikutip dari situs NYDailyNews.

Hal yang senada juga dikatakan Aris Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak. Menurutnya, hingga kini peraturan yang diperlukan untuk mengatur pembatasan wilayah merokok, kampanye dan promosi rokok, serta pembatasan produksi rokok, masih mandek di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kesehatan.

Padahal, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang disahkan Oktober lalu, mengamanatkan segera disahkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tersebut, maksimal setahun sejak disahkannya UU Kesehatan.

Menurut Aris, ada beberapa hal penting yang diperlukan dalam peraturan ini. Yang paling penting adalah pembatasan iklan rokok. Menurut dia, selama ini iklan-iklan rokok di Indonesia secara spesifik berhasil mengeksploitasi anak-anak yang berusia muda sebagai pemakai pemula.

"Anak-anak adalah investasi industri rokok, yang akan menggantikan para pecandu rokok yang berhenti di usia tua. Maka, promosi dan iklan rokok ini memang sengaja menggempur mereka, berkedok sponsor di bidang musik, olahraga dan kegiatan-kegiatan lain," kata Aris.

Di Indonesia, kata Aris, sejak dari bandara, kita disambut oleh iklan rokok raksasa. Sementara di negara-negara tetangga, penjualan rokok begitu dibatasi, baik pembatasan usia pembeli, hingga larangan display rokok yang dijajakan.

Tak hanya iklan, peraturan itu nantinya juga musti menaikkan cukai rokok dan membatasi ruang bagi perokok, agar orang-orang yang tidak merokok tak terpapar oleh bahaya merokok. Ini juga termasuk perlindungan bagi anak, agar mereka tidak terpapar oleh bahaya rokok.

Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Tubagus Haryo Karbyanto menambahkan, peraturan pemerintah itupun seharusnya juga mengganti peringatan efek merokok dalam versi teks dengan peringatan dalam versi gambar, yang diyakini akan lebih efektif.

Anak-anak yang belum bisa membaca, diharapkan bisa lebih mengerti dampak yang mungkin ia tanggung, dengan visualisasi gambar. "Hal ini juga tak beda dengan yang diterapkan di Brunei, Singapura, dan Thailand," kata Tubagus.

Lambannya pemerintah menggarap rancangan peraturan pemerintah (RPP) ini, kata Tubagus, disebabkan oleh adanya tarik menarik kepentingan dengan industri rokok besar. Beberapa pihak, kata Tubagus berdalih bahwa RPP ini akan merugikan nasib petani tembakau.

Padahal, kata Tubagus, alasan tersebut tidak sepenuhnya tepat. "Kalau alasannya demi petani tembakau, ternyata jumlah petani tembakau terus menurun dan terjadi peningkatan impor tembakau dari luar," kata Tubagus.

Sementara bila alasannya adalah mempertahankan nasib buruh industri rokok, ternyata, kecenderungan yang terjadi, kata Tubagus, adalah mekanisasi industri rokok. "Data terakhir dari direktorat bea cukai, ternyata dari sebelumnya ada 4 ribu pabrik rokok, kini tinggal 2205.

Selain itu ada sinyalemen kuat bahwa 2205 pabrik itu dikuasai 8 pemain besar. Oleh karenanya, satu-satunya pihak yang diuntungkan dari penundaan pengesahan RPP itu, kata Tubagus, adalah industri rokok besar, yang notabene dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing.

***

Setelah menjalani rehabilitasi di Jakarta, Ardi Rizal, kembali pulang ke kampungnya di Teluk Kemang Sungai Lilin Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Seperti kata Kak Seto, setelah sembuh dari kecanduan merokok, Ardi musti mendapat lingkungan yang kondusif yang bisa mengalihkan keinginannya merokok.

Artinya, kedua orang tua Ardi, Dian maupun Mohammad Rizal, semestinya juga berhenti merokok, atau setidaknya tak merokok di depan Ardi. "Bila tidak, ia bisa kembali kecanduan," kata Aris. Nasib Ardi sekarang, sangat bergantung pada orang tuanya.

Pada skala yang lebih besar, peran pemerintah juga akan sangat menentukan nasib bayi-bayi pecandu rokok lain selain Ardi. "Jadi ini semua kembali kepada kemauan politis pemerintah, apakah mereka lebih mementingkan perlindungan masyarakatnya dari bahaya nikotin, atau lebih memenangkan kepentingan industri rokok," kata Tubagus. (sj)