Tradisi Makam di Bawah Pohon
BANGLI,Desa Trunyan yang berlokasi di sebelah timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, memiliki tradisi unik tidak mengubur mayat, tetapi meletakkannya di bawah pohon kemenyan.
"Tradisi itu sudah kami lakukan secara turun-temurun," kata Jro Nyarikan Nada, Senin (13/9/2010).
Ia mengatakan, tradisi itu berlaku hanya untuk warga yang meninggal biasa dan tidak cacat fisik. "Jika mati tidak wajar (bunuh diri), mayatnya akan dikubur di Sema Bantas (Kuburan Bantas)," ucapnya.
Khusus untuk mayat bayi, kata Nada, meeka dikubur di Sema Muda (Kuburan Muda).
Menaruh mayat di bawah pohon kemenyan hanya boleh bagi 11 mayat. "Jika ada salah satu mayat yang sudah kering dan tinggal tulang belulang barulah boleh menaruh mayat lagi," ungkapnya.
Ia menjelaskan, mayat yang disandarkan sama sekali tidak mengeluarkan bau busuk karena penyerapan pohon kemenyan yang mampu menetralkan bau busuk.
Tradisi ini tidak berlaku bagi warga yang keluar menikah dan tidak mau mengikuti tradisi itu.
"Masyarakat asli Trunyan berjumlah 200 KK yang merupakan penduduk turun-temurun. Jika menikahi orang luar, maka yang bersangkutan bisa tinggal di Desa Trunyan asalkan mengikuti tradisi itu," ucapnya.
Menurut sejarah, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali dan bukan gelombang pengungsian dari Majapahit. Dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku Telengan dan suku Suku Yeh Ketipat di Buleleng.
Menurut Nada, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali itu saat ini masih ada. Di antaranya pura kuno yang bernama Pura Pancering Jagat.
Ia mengatakan, seperti tercatat dalam prasasti Trunyan, pada tahun saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk untuk mendirikan Pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat).
"Pura yang dilengkapi meru tumpang pitu (tujuh) ini dipercaya sebagai pura pertama di Bali," ujarnya.KOMPAS.com