Menit - Menit Akhir Mbah Maridjan
Sleman, Akhirnya misteri keberadaan Mbah Maridjan terpecahkan. Juru kunci alias Kuncen Gunung Merapi itu ditemukan Tim SAR telah meninggal dunia. Kakek 83 tahun itu ikut menjadi korban tewas karena keganasan awan panas atau wedhus gembel bersuhu sekitar 600 derajat Celsius, Selasa (26/10) petang.
Mbah Maridjan ditemukan di rumah dalam keadaan tak bernyawa, Rabu (27/10) pukul 06.05 WIB. Ia meninggal dalam posisi sujud di atas sajadah mengarah kiblat di dalam kamar rumahnya di Dusun Kinah Rejo, Desa Umbul Harjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Jogjakarta. Kuat dugaan Mbah Maridjan tewas saat sedang salat Magrib. “Ditemukan dalam posisi sujud,” kata anggota Tim SAR, Suseno, saat ditemui di RS Sardjito, Sleman, Jogjakarta.
Jenazahnya bisa dikenali diawal evakuasi dengan tanda pakaian batik dan sarung yang dikenakan sehari-hari. Kopiah melekat di kepalanya. Jenazah itu juga mempunyai salah satu ciri fisik yang dimiliki Mbah Maridjan, yakni jempol tangan kanan bengkok. “Secara fisik itu sudah membuktikan ciri-cirinya. Meski kita juga akan melakukan tes DNA,” kata Kepala Rumah Sakit Dr Sardjito, Heru Krisno Nugroho, dalam jumpa pers di RS Sardjito, Sleman, Jogjakarta, Rabu (27/10).
Salah satu menantu Mbah Maridjan, Bambang, meyakini jenazah sujud yang ditemukan tim SAR adalah mertuanya. “Saya sudah melihat sendiri. Pakaian yang dipakai, baik batik, sarung maupun kopiah mirip yang digunakan mertua saya. Beliau sujud di atas sajadah. Sujud di kamar di rumah,” kata Bambang kepada salah satu stasiun televisi.
Bambang menjelaskan, mendengar kabar Mbah Maridjan meninggal, keluarga shock, termasuk istri dan anak-anaknya. Bambang menjelaskan, sebelum meninggal pihak keluarga sempat menghubungi Mbah Maridjan. Kepada keluarga, terakhir kali Mbah Maridjan bilang, “Ngantiyo piye aku gak mudun” (Meski bagaimanapun saya tidak akan turun).” Seluruh keluarga Mbah Mardijan sendiri ikut mengungsi.
Pada Selasa (26/10) malam, sempat tersiar kabar Mbah Maridjan masih hidup. Namun setelah tim evakuasi melanjutkan pencarian, dipastikan Mbah Maridjan meninggal dunia. Di kawasan rumah Mbah Maridjan, juga ditemukan 16 orang tewas terbakar. Total korban tewas akibat letusan Gunung Merapi mencapai 29 orang dan puluhan lainnya luka parah.
Mbah Maridjan sempat dianggap sebagai sosok kontroversial. Saat Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi, tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan, agar perintah pemerintah dipatuhi. “Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah,” kata Sultan saat Merapi meletus April 2006.
Juru kunci bergelar Mas Penewu Suraksohargo ini tetap bergeming. “Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini,” kata Mbah Maridjan saat itu.
Mbah Maridjan menjalankan tugasnya dalam kapasitasnya sebagai abdi dalem yang menganut istilah sendika dawuh (siap diperintah). Apapun yang diperintahkan raja adalah kewajiban yang harus dijalani, apapun risikonya.
Saat itu, Mbah Maridjan mengatakan, untuk turun dia harus menunggu perintah Sultan Hamengku Buwono IX (ayah kandung Sultan Hamengku Buwono X). Bagi masyarakat awam, tentu tidak masuk akal karena Sultan Hamengku Buwono IX sudah meninggal pada tahun 1988. Tapi bagi Mbah Maridjan, itu bukan hal mustahil karena bila bicara tentang Gunung Merapi dan Mbah Maridjan, kita tidak bisa lepas dari cerita alam gaib yang berkuasa di kawasan Merapi.
Masih Guyon
Saat Gunung Merapi kembali meletus, Selasa (26/10), Mbah Maridjan pun kembali menolak mengungsi. Dan kesepuhan Mbah Maridjan nyata adanya. Menghadapi kondisi luar biasa bahaya yang mengancam nyawa, ia masih tampak tenang bahkan mengeluarkan guyonan yang mampu mengalihkan sedikit kekhawatiran dari ancaman wedhus gembel yang mengintip.
Dengar saja jawabannya saat diwawancarai kru Tribunnews (grup Surya) yang berhasil menemuinya sesaat sebelum semburan awan panas menyergap ke kawasan Desa Kinah Rejo, tempat Mbah Maridjan bermukim, Selasa (26/10) sekitar 17.30 WIB atau beberapa menit sebelum awan panas mencapai kawasan desa itu.
Seolah ia mengalihkan pembicaraan seputar Merapi. Mbah Maridjan pun mulai ndagel (berguyon) dan sama sekali tidak menyinggung soal letusan Merapi. Guyonan pun mengalir sampai soal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Misalnya saja, bagaimana dia mengaku merasa tidak kenal saat bertemu SBY. Entah di mana pertemuan itu. “Lha aku ketemu SBY yo ra srawung (Saya ketemu SBY juga tidak akrab, red),” katanya tanpa menceritakan dimana dan kapan dia bertemu presiden.
Pun begitu, sedikit banyak soal Merapi tersebul dalam wawancara tersebut. Menurutnya, banyak wartawan salah memilih sumber berita soal letusan Merapi. Sebagai orang biasa, sama seperti warga lainnya di Kinah Rejo, Mbah Maridjan tidak bisa memprediksi soal letusan Merapi. “Kalau mau tahu kapan meletus, yo tanya BPPTK atau Vulkanologi,” kata Mbah Maridjan.
Meski begitu, menurut Itong, anggota pecinta alam di Jogjakarta yang kemarin kebetulan ikut menemani Tribun ngobrol dengan Mbah Maridjan, beberapa kali dia selalu bilang, apapun yang terjadi dengan Merapi, kali ini bukanlah letusan yang sebenarnya. “Hanya batuk saja, seperti tahun 2006 itu,” kata Itong menirukan Mbah Maridjan.
Tidak hanya itu, menurut Itong, letusan yang terjadi pada 2006 dan kali ini, hanyalah untuk mbangun. “Pastinya, saya tidak tahu apa maksudnya mbangun. Sebagai pendaki, memang setelah letusan 2006 dan guguran kali ini, bentuk Merapi jadi berubah,” tambahnya, tanpa mau menjelaskan makna supranaturalnya.
Selain guyonan soal SBY, Maridjan juga banyak bercerita soal asmara. Menurutnya, banyak orang yang datang padanya untuk minta pengasihan agar dapat dicintai perempuan.
“Kalau ingin punya istri atau suami, ya harus PCRN (pacaran), bukan minta apa-apa ke saya. Wong-wong ki do aneh (orang-orang ini memang aneh),” katanya.
Ia pun kemudian bercerita sedikit soal Merapi dengan menggunakan analogi hubungan laki-laki perempuan. Menurutnya, kalau suami istri sedang berhubungan intim, pasti ditutupi. Demikian juga dengan Merapi, saat bergejolak dia akan tertutup kabut.
Sambil terus terkekeh-kekeh, beberapa cerita pun terus meluncur dari mulut Mbah Maridjan, hingga akhirnya terdengar gemuruh cukup panjang sebagai tanda terjadi letusan. Saat itu, Mbah Maridjan pun masih sempat melempar guyonan. “Itu, batuk lagi,” katanya sambil mohon pamit mau masuk ke dalam rumah untuk melihat televisi.
Belum lama dia menikmati tayangan televisi di dalam rumah, sejumlah orang dari tim SAR berdatangan, termasuk Tutus Priyono (anggota PMI) yang belakangan ditemukan tewas. Mereka meminta agar Mbah Maridjan bersedia turun. “Informasinya, Mbah Maridjan mau turun,” kata Adam, seorang anggota Tim SAR itu. Namun Mbah Maridjan tetap tidak mau turun sampai akhirnya terdengar suara sirine tanda Merapi meletus. Para wartawan dan tamu Mbah Maridjan kemudian bergegas turun ke pos pengungsian.
Beberapa menit kemudian sejumlah Tim SAR termasuk Tutus dan seorang wartawan VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nugroho alias Wawan –yang juga tewas– kembali naik untuk membujuk Mbah Maridjan agar mau turun. Namun Mbah Maridjan malah pamit salat Magrib. Ia masuk ke dalam rumah.
Menurut kerabat Wawan, seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Rini Soegiharto, ia ditelepon Wawan pukul 18.29 WIB memberitahukan bahwa dia lagi di rumah Mbah Maridjan. “Saya menunggu, dia lagi salat,” kata Wawan di ujung telepon ditirukan Rini.
Namun, dalam perbincangan singkat itu, di ujung telepon, Rini mendengar ada suara sirine dan sejumlah orang menjerit-jerit. “Ada api, ada api, panas, panas.”
Sejak itulah, keberadaan Mbah Maridjan misterius sampai akhirnya Tim SAR menemukan belasan mayat terbakar di rumah Mbah Maridjan dan sekitarnya pukul 22.00 WIB. Pada Rabu (27/10) pagi, Tim SAR kembali menyisir rumah Mbah Maridjan dan menemukan mayatnya bersujud di atas sajadah di dalam rumah.
Seorang anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Desa Umbul Harjo, Slamet mengatakan, kondisi di dusun sekitar tempat tinggal Mbah Maridjan rusak parah, hampir semua rumah dan pepohonan roboh. “Kerusakan ini akibat terjangan awan panas dan bukan karena material lava,” katanya.
Perintah Sultan
Mbah Maridjan menjadi juru kunci Gunung Merapi atas perintah Sultan Hamengku Buwono IX. Sebelumnya, tugas berat itu disandang ayahnya, Kertorejo, sejak 1950 hingga 1982. Sepeninggal sang ayah, Maridjan diberi kekancingan yang ditugaskan menunggu Gunung Merapi sejak 1983. Tugas utama Mbah Maridjan sebagai juru kunci, sebagai pelaksana upacara sakral tahunan Labuhan Merapi, yaitu sebuah upacara pemberian sesaji kepada Gunung Merapi setiap tanggalan Jawa 30 Rajab.
Mbah Maridjan dikarunia 10 orang anak, dan kini hanya tinggal lima anaknya yang masih hidup. Lima orang yang lain, telah mendahuluinya. Maridjan memiliki 12 cucu dan tujuh cicit.
Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta yang juga Raja Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyesalkan kematian Mbah Maridjan. Menurutnya, Mbah Maridjan sebenarnya mau dievakuasi namun menunggu setelah salat Magrib. “Pas salat Magrib itulah kejadian itu (awan panas menyergap) menimpa dia,” kata Sultan saat diwawancarai sebuah stasiun televisi, Rabu (27/10). Sri Sultan menegaskan tidak ada pemakaman khusus bagi Mbah Maridjan.
Menurut juru bicara keluarga Mbah Maridjan, Agus Wiharto, jenazah Mbah Maridjan akan dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) di Dusun Sidorejo, Desa Umbul Harjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Jogjakarta, Kamis (28/10) pukul 10.00 WIB. TPU itu berjarak sekitar 2,5 kilometer dari tempat tinggal Mbah Maridjan, Dusun Kinah Rejo, Desa Umbul Harjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. n tribunnews/ant/surya